News

Record Store Day 2014 di Lokananta, Surakarta

23 April 2014

Lokananta, studio musik legendaris yang menjadi tonggak sejarah musik rekaman Indonesia, kembali menjadi bagian dari arus perubahan musik dalam negeri. Berlangsung pada Minggu (20/4) lalu, pelataran Lokananta menjadi arena gebyar temu para pecinta rilisan fisik, yang berbondong-bondong datang ke acara bertajuk Record Store Day 2014: Surakarta.

Acara yang dimotori oleh para pelaku kancah musik di Solo —baik distributor musik, kolektor, dan sebagian personel band lokal ini, berhasil menarik perhatian para penikmat musik —bukan hanya dari sekitaran Solo saja, tapi juga dari Yogyakarta, Semarang, Salatiga, Jakarta bahkan Balikpapan.

Tamtomo “Dondiet” Widhiandono, salah satu koordinator acara yang juga merangkap sebagai pemilik distributor rekaman lokal, Alpha Omega Records, menyatakan bahwa antusiasme pengunjung dan jumlah transaksi di Record Store Day kali ini jauh lebih meningkat dibandingkan dengan penyelenggaraan sebelumnya.

“Tahun ini, diikuti oleh 9 lapak distributor. Dari Solo, Klaten, Wonogiri dan Yogyakarta. Yang menarik, ada dua lapak yang dikelola oleh anak SMA. Awalnya mereka ini kolektor, kemudian mencoba peruntungan untuk berjualan. Ini pertanda bagus, masih sekolah tapi sudah memiliki kesadaran untuk mengapresiasi rilisan fisik. Edukasi yang diberikan oleh para pelaku musik kota Solo, berarti bisa dibilang berjalan,” ujar Dondiet.

Kesembilan lapak tersebut, memiliki barang dagangan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Solonesia. Lapak yang dikelola Catur —seorang kolektor musik kawakan asal Jakarta yang kini berdomisili di Solo itu, banyak memajang koleksi album lawas milik musisi dalam negeri dan luar negeri. Baik dalam bentuk cakram padat, kaset, maupun piringan hitam.

Nama-nama besar macam: Giant Step, Koes Plus, Remaja Bahana, Panbers, The Mercys, bahkan sampai Pink Floyd, The Rolling Stones, The Beach Boys, dan The Beatles berjajar rapi di lapak dagangannya. Lain lagi dengan lapak Unleash Records. Mereka lebih berkonsentrasi pada rilisan fisik dan merchandise band-band berdistorsi macam Alice, Amukredam, Deadly Weapon sampai Isis dan Converge.

Unleash Records sendiri, baru saja merilis boxset album Penghabisan, milik kuintet industrial-rock berbahaya asal Solo, Matius III:II. Dan dalam waktu dekat, mereka akan merilis paket merchandise dan piringan hitam 7” milik ((AUMAN)) yang bertajuk Dioramarabahaya. Menurut Irfan —sang pemilik label, Record Store Day yang diselenggarakan di Lokananta ini merupakan tonggak penting dalam kancah musik kota Bengawan.

Ia menuturkan, “Kesadaran para penikmat musik di Solo untuk membeli rilisan fisik, memang sudah ada —dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meski minatnya terbatas pada bentuk cakram padat dan kaset saja —belum merambah piringan hitam seperti di Bandung dan Jakarta, namun mereka tidak asal beli.”

Momentum ini, juga dimanfaatkan oleh unit celtic-punk setempat, The Working Class Symphony untuk merilis album dalam bentuk kaset pita. Rilisan anyar milik band yang gaungnya sempat terdengar sampai Jerman dan Singapura ini, digarap oleh kolaborasi label independen Alpha Omega Records x Solonesia. Selain sajian ‘harta karun’ di lapak para distributor dan rilis album band lokal, pihak penyelenggara juga menyuguhkan diskusi musik, dengan mengangkat “Perjalanan Musik Psikadelik di Solo” sebagai tema utamanya.

Salah satu skenario langka yang kini jarang ditemui di era musik digital, seperti: tawar-menawar harga antara calon pembeli dan penjual; perbincangan yang berisi ulasan singkat dari empunya dagangan kepada calon pembeli untuk meyakinkan niat mereka berbelanja; saling bertukar informasi mengenai perkembangan jumlah koleksi pribadi, pada hari itu sangat mudah ditemukan di tiap-tiap sudut Lokananta.

Hal yang seperti ini, juga menjadi tujuan para penyelenggara Record Store Day, bukan hanya di Solo, tapi juga di seluruh belahan dunia. “Kami ingin masa-masa indah yang pernah kami —generasi lawas penikmat rilisan fisik alami dulu, juga dialami oleh generasi masa kini.” Dondiet menambahkan, “Kalau tujuan khususnya, mungkin hal ini akan membuat masyarakat luas menjadi tahu bahwa label-label kecil di Solo juga bisa menciptakan sesuatu yang patut diperbincangkan dalam skala nasional. Kami selaku distributor tentu juga merasa senang, kalau karya musik lokal bisa diapresiasi.”

Menurut Dondiet, kelangsungan rilisan fisik masih memiliki secercah harapan dari generasi penikmat musik masa kini —meski berada diterpa badai teknologi digital. “Ini sebuah siklus. Dulu, penikmat musik sudah merasa cukup apabila mampu membeli merchandise-nya saja. Mengenakan kaos bertuliskan nama band kesukaannya, sudah dirasa mampu mewakili identitasnya. Tapi, kini perlahan-lahan mereka mulai mengapresiasi kembali rilisan fisik. Persis seperti dulu, era di mana rilisan fisik masih menjadi oase segar bagi dahaga para penikmat musik. Sudah sejak dua atau tiga tahun yang lalu, saya sendiri sudah mengurangi porsi jualan merchandise dan menambahkan porsi rilisan fisik. 25% untuk merchandise, dan 75% untuk rilisan fisik. Dan sampai sekarang, masih memiliki barisan pembeli yang setia.”

Ia juga menuturkan, “Sering saya didatangi segerombolan pelajar, yang mencari rilisan fisik keluaran terbaru. Mereka itu rata-rata menabung dari uang sakunya, dikumpulkan selama beberapa pekan. Saya salut benar. Masa depan industri musik kita itu ya bergantung ke mereka-mereka itu.”

Saat ditanya mengenai kelangsungan Record Day Store Surakarta di masa mendatang, ia mengaku tak mencanangkan target yang terlalu muluk-muluk. “Ke depannya, saya berharap Record Store Day ini akan tetap ada. Kami tak ingin memiliki target yang kelewat besar; harus seperti ini, harus seperti itu. Tapi kalau tahun depan digelar lagi, saya pribadi berharap distributor-distributor yang di Manahan, Banjarsari, Klithikan (pusat perdagangan rilisan fisik lawas kota Solo, —red) bisa ikut serta. Karena bagaimanapun, mereka juga berjasa kepada para pelaku musik di Solo. Itu saja,” pungkas Dondiet. (rollingstone.co.id)